Rahasia di Balik Materi
(Harun Yahya)
Dunia dari Sinyal Listrik
Semua informasi yang kita
miliki tentang dunia yang kita huni dibawa kepada kita oleh kelima indra kita.
Maka, dunia yang kita kenal terbangun dari apa yang mata kita lihat, tangan
kita rasakan, hidung kita cium, lidah kita cecap, dan telinga kita dengar. Tidak
pernah kita berpikir bahwa dunia luar barangkali sesuatu yang bukan seperti
yang disajikan oleh indra-indra kita, sebab kita telah bergantung sepenuhnya kepada
semua indra itu sejak lahir. Namun, penelitian mutakhir di berbagai bidang ilmu
pengetahuan menunjuk ke fakta yang sangat berbeda dan menimbulkan keraguan
besar tentang dunia “luar” yang kita tangkap dengan indra kita.
Sesuai dengan temuan-temuan
ilmiah, yang kita tangkap sebagai “dunia luar” hanyalah hasil dari otak yang
terangsang oleh sinyal-sinyal listrik yang dikirimkan oleh organ-organ indra
kita. Untuk pemahaman baru ini, titik awalnya adalah bahwa setiap yang kita
tangkap sebagai di luar kita hanyalah tanggapan yang dibentuk oleh sinyal-sinyal
listrik di otak kita. Merahnya apel, kerasnya kayu—
lebih-lebih, ibu, ayah, keluarga,
dan segala sesuatu yang kita miliki, rumah, pekerjaan, dan bahkan
halaman-halaman buku ini—semuanya tersusun hanya dari sinyal-sinyal listrik. Tentang
hal ini, ahli biokimia Jerman Frederick Vester menjelaskan sudut pandang yang
dicapai ilmu pengetahuan:
Pernyataan sebagian ilmuwan yang membenarkan bahwa manusia
itu sebuah citra, segala yang dialaminya fana dan memperdaya, dan bahwa alam
semesta ini hanya sebuah bayangan, semua tampaknya dibuktikan oleh ilmu pengetahuan
saat ini.
Untuk menjelaskan hal ini,
renungkanlah pancra indra yang menyediakan bagi kita semua informasi tentang
dunia luar.
Bagaimanakah Kita Melihat, Mendengar, dan Mencecap?
Tindakan melihat disadari
bertahap. Cahaya (foton-foton) bergerak dari benda melalui lensa di bagian depan
mata, tempat citra dibiaskan dan jatuh terbalik di retina di bagian belakang
mata. Di sini, cahaya yang menerobos ini diubah menjadi sinyal-sinyal listrik
yang diteruskan oleh neuron-neuron ke bintik kecil di bagian belakang otak yang
disebut pusat penglihatan. Setelah serangkaian proses, sinyal-sinyal listrik di
pusat otak ini diubah menjadi sebuah citra. Tindakan melihat sebenarnya terjadi
di bagian belakang otak ini, di bintik kecil yang sangat gelap, tersekat sama
sekali dari cahaya.
Walaupun proses ini sebagian
besar dimengerti, ketika kita menyatakan, “Aku melihat,” sebenarnya kita
menangkap akibat denyut-denyut cahaya yang mencapai mata kita, mengubahnya
menjadi sinyal-sinyal listrik, dan menyimpulkannya di otak kita. Dan juga,
ketika kita mengatakan “Aku melihat,” sesungguhnya kita sedang mengamati
sinyal-sinyal listrik di benak kita.
Tentang masalah ini, renungkanlah
pemikiran dua filsuf terkemuka Bertrand Russel dan L. Witteinstein berikut:
Misalnya, apakah lemon benar-benar ada atau tidak dan
bagaimanakah ia menjadi ada, tidak dapat dipertanyakan atau diselidiki. Sebutir
lemon terdiri semata-mata dari rasa yang dicecap lidah, bau yang dicium hidung,
warna dan bentuk yang dilihat mata; dan hanya ciri-ciri inilah yang dapat
menjadi bahan pemeriksaan dan pengkajian. Ilmu pengetahuan tidak pernah bisa
mengetahui dunia fisik.
Mustahil bagi kita menggapai
dunia fisik di luar otak. Semua benda di sekeliling yang kita temui sebenarnya sekumpulan
kesan seperti penglihatan, suara, dan sentuhan. Selama hidup kita, dengan
mengola data di pusat-pusat indra ini, otak kita menghadapi bukan materi-materi
“asli” yang ada di luar kita, namun salinan-salinannya yang terbentuk di dalam
otak kita. Di sinilah kita tersesatkan dengan menganggap salinan- salinan ini
mewakili materi sejati di luar kita.
kesimpulan
yang tak terbantahkan berikut:
Semua yang kita
lihat, sentuh, dengar, dan rasakan sebagai “materi,” “dunia,” atau “alam
semesta” hanyalah sinyal-sinyal listrik yang ditafsirkan di dalam otak. Kita
tidak pernah dapat mencapai materi yang asli di luar otak kita. Kita hanya
merasa, mendengar, dan melihat citra dunia luar yang terbentuk di otak kita. Nyatanya,
seseorang yang memakan sebutir apel menghadapi bukan buah yang sebenarnya,
namun kesankesannya di otak. Apa yang dianggap seseorang sebagai sebutir apel
sebenarnya terdiri atas kesan otaknya terhadap data kelistrikan menyangkut
bentuk, bentuk, rasa, bau, dan tekstur. Jika saraf-saraf penglihatan yang
berjalan ke otak tiba-tiba terputus, citra buah akan mendadak hilang.
Terputusnya saraf hidung yang berjalan dari reseptor di hidung ke otak akan
melumpuhkan seluruh indra penciuman. Ambil mudahnya, apel adalah tak lebih dari
tafsiran otak atas sinyal-sinyal listrik.
Bagi kita, “dunia luar”
semata-mata sekumpulan sinyal listrik yang berbarengan mencapai otak kita. Otak
kita mengolah sinyal-sinyal ini, dan kita hidup tanpa menyadari agp keliru
bahwa semua ini versi asli dan sejati dari materi yang ada di “dunia luar.”
Kita disesatkan, karena lewat indra-indra kita, kita tidak pernah menggapai
materi itu sendiri.
Sekali lagi, otak kita
menafsirkan dan menetapkan makna bagi sinyal-sinyal yang kita anggap dari “luar.”
Cobalah renungi indra pendengaran. Sesungguhnya, otak kita menafsirkan dan
mengubah gelombang-gelombang yang mencapai telinga menjadi simfoni. Dengan kata
lain, musik juga adalah kesan yang dibentuk—dan berada—di dalam otak. Dengan
cara yang sama, ketika melihat kita warna-warna, beragam gelombang cahayalah
yang mencapai mata kita, dan otak kita mengubah gelombang-gelombang ini menjadi
warna-warna. Tidak ada warna di “dunia luar” sana. Apel tidak merah, langit
tidak biru, pun pepohonan tidak hijau. Semua itu demikian karena kita
mengesaninya demikian.
Siapakah
Sang Pengesan?
“Dunia luar” yang kita pikir kita
huni tidak diragukan lagi diciptakan di dalam otak kita. Akan tetapi, di sini
muncul sebuah pertanyaan yang sangat penting. Jika semua benda fisik yang kita ketahui
pada intinya kesan, bagaimana dengan sang otak sendiri? Karena otak kita bagian
dari dunia materi seperti tangan kita, kaki kita, maupun benda-benda lainnya,
otak juga seharusnya sebuah kesan.
Sebuah contoh akan menggambarkan
hal ini. Anggap bahwa kita mengesani mimpi di dalam otak kita. Di dalam mimpi,
kita memiliki sesosok tubuh khayalan, lengan dan mata khayalan, dan segumpal
otak khayalan. Jika selama mimpi, kita ditanya, “Di manakah Anda melihat?” kita
akan menjawab, “Saya melihat di dalam otak saya.” Namun, sebenarnya tidak ada
otak sungguhan yang untuk dibicarakan, hanya sesosok tubuh khayalan, bersama
dengan kepala khayalan dan otak khayalan. Si penglihat dari aneka citra dalam
mimpi bukan otak khayalan di mimpi itu, namun suatu wujud yang jauh di luarnya.
Fakta kedua yang tak kalah
pentingnya adalah “diri” di dalam otak kita yang mengamati dunia ini tidak mungkin
otak itu sendiri, yang mirip sebuah sistem komputer terpadu: ia mengolah data
yang mencapainya, menerjemahkan menjadi citra-citra, dan menampilkannya di
sebuah layar. Namun, sebuah komputer tidak dapat melihat dirinya sendiri; tidak
juga sadar akan keberadaan dirinya. Ketika otak dibedah untuk mencari kesadaran
ini, tidak sesuatu pun ditemukan melainkan moleku-lmolekul lemak dan protein,
yang juga ada pada organ-organ tubuh lainnya. Ini berarti di dalam jaringan yang
kita sebut “otak kita” tidak ada sesuatu yang mengamati dan menafsirkan citra,
membentuk kesadaran, atau menciptakan suatu wujud yang kita sebut “diriku.”
Buku di tangan Anda ini, ruangan
tempat Anda berada—singkatnya, semua citra di hadapan Anda—terlihat di dalam
otak Anda. Apakah atom-atom yang buta, bisu, dan tak sadar melihat semua citra
ini? Mengapakah sebagian kecil atom memeroleh sifat-sifat ini padahal sebagian
besar lainnya tidak? Apakah tindakan-tindakan kita berpikir, memahami,
mengingat, merasa gembira, merasa sedih, dan semua lainnya tersusun dari
reaksi-reaksi kimiawi di antara atom-atom ini? Tidak masuk akal mencari
kehendak di dalam atom. Jelaslah, wujud yang melihat, mendengar, dan merasa
adalah wujud supramateri, “hidup,” yang bukan materi maupun kesan. Wujud ini
berhubungan dengan kesan di hadapannya dengan menggunakan citra tubuh kita. Wujud yang nyata itu adalah jiwa. Wujud
cerdas yang menulis dan membaca kalimat ini bukanlah sekumpulan atom dan
molekul dan reaksi kimia di antara unsur-unsur itu, namun sesosok jiwa.
Wujud
Mutlak yang Nyata
Kita berhadapan langsung dengan
sebuah pertanyaan teramat penting. Jika dunia yang kita hadapi terdiri atas
kesan-kesan jiwa kita, maka apakah sumber kesan-kesan ini?
Untuk jawabannya, bayangkan bahwa kita mengesankan materi
hanya di khayalan kita, namun tidak pernah dapat langsung mengalami yang
terjadi di luar. Yakni, kesan ini harus disebabkan oleh kekuasaan lain—yang
berarti bahwa sebenarnya materi pasti diciptakan. Lebih lagi, penciptaan ini
harus sinambung. Jika tidak, maka penciptaan ini akan segera lenyap. Seperti
itu juga, gambar televisi hanya ditayangkan selama sinyal-sinyalnya terus
dipancarkan. Jadi, siapakah yang membuat jiwa kita terus melihat
bintang-gemintang, Bumi, tetumbuhan, manusia, tubuh kita, dan segala sesuatu
yang kita lihat? Nyatalah, ada sesosok Pencipta, Yang menciptakan seluruh alam
materi, yakni, dan Yang tanpa henti melanjutkan penciptaanNya. Karena Pencipta
ini menunjukkan penciptaan yang demikian cemerlang, pastilah Dia memiliki
kekuasaan dan kekuatan abadi.
Ini menunjukkan bahwa ada alam
semesta materi di luar otak kita, yang mencakup entitasentitas yang diciptakan
oleh Allah. Akan tetapi, sebagai sebuah mukjizat dan perwujudan sifat unggul ciptaanNya
dan kemahakuasaanNya, Allah menunjukkan kepada kita alam semesta materi ini
dalam bentuk sebuah “khayalan,” “bayangan,” atau “citra.” Karena kesempurnaan
penciptaanNya, manusia tidak pernah dapat mencapai dunia di luar otaknya. Hanya
Allah yang mengetahui alam semesta materi yang sebenarnya.
Orang tersesatkan oleh pemikiran
bahwa wujud yang paling dekat dengannya adalah dirinya sendiri. Sesungguhnya,
Allah lebih dekat dengan kita daripada diri kita sendiri. Dia telah menarik
perhatian kita akan hal ini dalam ayat:
“Maka, mengapakah ketika nyawa sampai di kerongkongan,
padahal ketika itu kamu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripadamu,
tetapi kamu tidak melihat?” (QS AlWaqi’ah, 56: 83-85).
Namun, orang-orang tetap tidak
sadar akan fakta mencengangkan ini karena tidak
dapat melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri,
sebagaimana dikatakan dalam ayat tersebut.
Di sisi lain, mustahil bagi
manusia—yang bukan apa-apa melainkan sesosok wujud semu, sebagaimana dikatakan
Imam Rabbani—memiliki kekuasaan yang terlepas dari Allah. Ayat “Padahal adalah
Allah Yang menciptakanmu dan apa-apa yang kamu perbuat.” (QS Asy Syafaat, 37:
96) menunjukkan bahwa apapun yang kita alami terjadi di bawah kendali Allah. Di
dalam Al Qur’an, kenyataan ini disebutkan di dalam ayat “Bukan kamu yang
berbuat ketika melempar, tetapi adalah Allah yang melempar.” (QS Al Anfal, 8:
17), dimana ditekankan bahwa tidak ada perbuatan yang lepas dari Allah. Karena
kita manusia hanya wujud semu, kita sendiri tidak dapat menjadi yang melakukan
tindakan apapun. Akan tetapi, Allah memberi kita para wujud semu perasaan bahwa
kita bertindak sendiri. Nyatanya, Allah Yang melakukan semua tindakan. Seseorang
mungkin tidak ingin mengakuinya dan memikirkan dirinya terbebas dari Allah;
namun hal ini tak mengubah apa-apa.
Segala
Sesuatu yang Anda Miliki pada Hakikatnya Adalah Ilusi
Adalah jelas, ilmiah, dan logis
bahwa kita tidak bersentuhan langsung dengan “dunia luar,” namun hanya dengan
salinannya yang terus-menerus ditayangkan Allah bagi jiwa kita. Akan tetapi,
orang biasanya enggan berpikir demikian.
Jika Anda memikirkan hal ini
dengan tulus dan berani, Anda akan menyadari bahwa rumah, perabotan di
dalamnya, mobil Anda, kantor Anda, perhiasan, rekening di bank, koleksi busana,
suami atau istri, anakanak, rekan sejawat—sebenarnya, semua yang Anda
miliki—berada di benak Anda. Semua yang Anda lihat, dengar, atau cium —
singkatnya, yang Anda kesani dengan kelima indra—adalah bagian dari “dunia
replika” ini, termasuk suara penyanyi favorit Anda, kerasnya kursi yang Anda
duduki, parfum yang wangi.
Mimpi
sebagai Contoh
Sebenarnya adalah yang mana pun
dari kelima indra yang kita ambil sebagai titik tolak, kita tidak dapat mencapai
aslinya dari dunia luar yang ada di luar sana. Petunjuk penting hal ini adalah
cara kita membayangkan dalam mimpi hal-hal yang tidak ada. Di dalam mimpi, kita
dapat mengalami kejadian-kejadian yang sangat nyata. Kita dapat jatuh dari
tangga sehingga mematahkan kaki, mengalami kecelakaan mobil yang parah,
terjepit di bawah bis, atau makan besar dan merasa kenyang. Kejadian-kejadian
yang serupa dengan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari juga dialami dalam
mimpi, dengan sama meyakinkan dan membangkitkan perasaan serupa.
Seseorang yang bermimpi tertabrak
bis dapat membuka mata kembali di rumah sakit—masih dalam mimpinya—dan
menyadari bahwa dirinya cacat, tetapi semua itu hanya mimpi. Dia juga bisa
bermimpi meninggal di dalam sebuah tabrakan mobil, bermimpi malaikat maut
mengambil jiwanya, dan kehidupannya di alam baka dimulai.
Citra, suara, rasa benturan,
sakit, cahaya, warna—dan semua perasaan lain yang berkaitan dengan peristiwa yang
dialaminya di dalam mimpi—dikesani dengan sangat jelas. Semua seakan sama
alamiahnya dengan kesan-kesan dalam hidup nyata. Kue yang dimakannya di dalam
mimpi membuatnya kenyang, meskipun kue itu hanya kesan, sebab rasa kenyang pun
juga kesan. Akan tetapi, pada saat itu, orang ini sedang terbaring di tempat
tidur. Tidak ada tangga, tidak ada lalu lintas, tidak ada bis, tidak ada kue
karena sang pemimpi mengalami kesan-kesan dan perasaan-perasaan yang tidak ada
di dunia luar. Kenyataan bahwa mimpi-mimpi kita memberi kita
peristiwa-peristiwa tanpa kaitan fisik dengan “dunia luar” adalah satu fenomena
yang intisari sejatinya tidak pernah kita ketahui. Kita dapat memelajari sifat
sesungguhnya dunia itu hanya dari wahyu Allah Mahakuasa Yang menciptakannya.
Filsuf Inggris terkemuka, David Hume mengungkapkan
pemikirannya tentang fakta ini:
Bagi saya,
ketika saya masuki secara paling intim apa yang saya sebut diri sendiri, saya
selalu terantuk dengan satu kesan atau lainnya, tentang panas atau dingin,
terang atau gelap, cinta atau benci, suka atau duka. Saya tidak bisa menangkap
diri sendiri kapan pun tanpa suatu kesan, dan tidak dapat mengamati apa pun
selain kesan.
Pentingnya
Masalah Ini
Memahami secara benar rahasia di
balik materi seperti dijelaskan di dalam bab ini adalah hal yang sangat
penting. Gunung-gunung, bunga-bunga, orang-orang, lautan—singkatnya, segala
sesuatu yang kita lihat dan segala sesuatu yang disampaikan Allah di dalam Al
Qur’an yang ada dan yang Dia ciptakan dari ketiadaan diciptakan dan sungguh-sungguh
ada. Akan tetapi, orang-orang tidak dapat melihat, merasakan, atau mendengar
sifat sesungguhnya wujud-wujud ini lewat panca indra mereka. Apa yang kita
lihat dan dengar hanyalah salinan yang tampak di otak. Inilah yang diajarkan
fakta ilmiah di sekolah-sekolah kedokteran.
Hal yang sama terjadi pada buku
yang sedang Anda baca. Anda tidak dapat melihat atau menyentuh sifat
sesungguhnya. Cahaya yang datang dari buku yang asli diubah oleh sebagian sel
di mata Anda menjadi sinyal-sinyal listrik, yang lalu diteruskan ke pusat
penglihatan di bagian belakang otak Anda. Inilah di mana pemandangan buku ini
tercipta. Dengan kata lain, Anda tidak sedang membaca sebuah buku di depan Anda
lewat mata Anda; nyatanya, buku ini diciptakan di pusat penglihatan di bagian
belakang otak Anda. Buku yang sedang Anda baca sekarang ini adalah “salinan
buku” di dalam otak Anda. Buku asli terlihat oleh Allah.
Namun, harus diingat, bahwa fakta
bahwa materi itu sebuah bayangan yang terbentuk di otak tidak “menolak” materi,
tetapi memberikan kita informasi tentang sifat sesungguhnya materi: bahwa tidak ada orang yang bisa berhubungan
dengan asli materi. Lebih-lebih, materi di luar terlihat bukan hanya oleh kita,
namun oleh wujud-wujud lain juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar