Kaum Sufi Melawan Kolonialisme dan Imperialisme
Oleh Zainal Fanani*
"Kaum sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh
maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti
air hujan, mengaliri segala sesuatu."
[Al-Junaid Al-Baghdady]
Prolog
Diskursus tasawuf telah menarik banyak perhatian, baik dari kalangan sarjana barat maupun para pemikir muslim sendiri. Keberadaannya seakan menjadikan decak kagum' bagi para pengagungnya sekaligus menjadi bahan cibiran orang yang membencinya. Uniknya, ada sederet model pembacaan yang ditawarkan. Ini penting penulis sebut di sini, supaya nanti bisa nyambung dengan apa yang penulis uraikan. Kalangan Orientalis-meski tidak semuanya-misalnya, dengan teori borrowing and influence (meminjam dan keterpengaruhan) mendaku bahwa tasawuf dalam tradisi Islam hanyalah sekedar proses copy paste dari tradisi di luar Islam (filsafat Yunani, Neo-Platonisme, Hellenisme, dan tasawuf Kristen). Sebagian peneliti Muslim dari kalangan Salafi-Wahabi memandang bahwa tasawuf adalah barang haram, lebih dari itu, seorang sufi dalam pandangan mereka berbanding lurus dengan Kafir-Musyrik. Argumen kelompok terakhir ini berdasarkan pandangan literal (harfiyah), bahwa, dalam Qur'an ataupun Hadis tidak ditemukan kata Tasawuf. Muara dari dua kelompok di atas pada akhirnya adalah sama, yakni ingin menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada istilah tasawuf.
Diskursus tasawuf telah menarik banyak perhatian, baik dari kalangan sarjana barat maupun para pemikir muslim sendiri. Keberadaannya seakan menjadikan decak kagum' bagi para pengagungnya sekaligus menjadi bahan cibiran orang yang membencinya. Uniknya, ada sederet model pembacaan yang ditawarkan. Ini penting penulis sebut di sini, supaya nanti bisa nyambung dengan apa yang penulis uraikan. Kalangan Orientalis-meski tidak semuanya-misalnya, dengan teori borrowing and influence (meminjam dan keterpengaruhan) mendaku bahwa tasawuf dalam tradisi Islam hanyalah sekedar proses copy paste dari tradisi di luar Islam (filsafat Yunani, Neo-Platonisme, Hellenisme, dan tasawuf Kristen). Sebagian peneliti Muslim dari kalangan Salafi-Wahabi memandang bahwa tasawuf adalah barang haram, lebih dari itu, seorang sufi dalam pandangan mereka berbanding lurus dengan Kafir-Musyrik. Argumen kelompok terakhir ini berdasarkan pandangan literal (harfiyah), bahwa, dalam Qur'an ataupun Hadis tidak ditemukan kata Tasawuf. Muara dari dua kelompok di atas pada akhirnya adalah sama, yakni ingin menegaskan bahwa dalam Islam tidak ada istilah tasawuf.
Terlepas dari perbedaan cara pandang di atas, sampai saat ini masih ada saja sebagian orang yang mempunyai persepsi bahwa tasawuf adalah penyebab kemunduran umat Islam. Dalam masalah ini penulis tidak dalam keadaan bersepakat dengan Dr Mahmud Qasim yang menyatakan bahwa tasawuf adalah biang keladi kemunduran dunia Islam, Amir Syakib Arselan yang menilai tasawuf telah menyebabkan kaum Muslim mundur karena ajaran-ajarannya yang mengakibatkan jiwa "melempem", atau akhir-akhir ini dengan Hartono Ahmad Jaiz yang mengarang buku Tasawuf Belutan Iblis. Nah, tulisan ini ingin menjawab tuduhan-tuduhan di atas, dengan menjadikan kajian historis sebagai tolak ukurnya.
Kaum Sufi Sebagai Aktor Revolusi
Nun jauh di sana, adalah As'ad al-Khatib, seorang sejarawan
kontemporer yang menekankan untuk menuliskan kembali sejarah tokoh-tokoh sufi
dengan menjadikannya sebagai subyek (fa'il)bukan sebagai objek (maf'ul). Diakui
ataupun tidak, tasawuf tidaklah terlahir dari ruang yang hampa. Tetapi ia lahir
dari perpaduan antara unsur eksoterik dan esoteric sekaligus. Qiro'ah
tarikhiyah menemukan relevansinya di sini. As'ad al-Khatib mengajak
kita untuk memahami sufisme secara realistis. Karena, hanya dengan cara ini
kajian akan terasa lebih komprehensif dan diharapkan akan melampaui kajian islamic
studiesnya para orientalis. Oleh karenanya, ia pernah mengkampanyekan
gagasannya ini dengan menulis di majalah Turâts al-Arâbi al-Dimisyqiyyahsecara
panjang lebar tentang kontribusi dan sumbangsih kaum sufi di tengah-tengah
masyarakat Arab pada khususnya dan Islam pada umumnya.
Dengan terbitnya tulisan itu ternyata mendapat sambutan hangat
dari berbagai kalangan, di antaranya datang dari Prof Dr Muhammad Said Ramadhan
al-Buthi, Dr Wahbah Az-Zuhaili, Dr Nuruddin 'Ietr, Dr Muhammad Abd Latif
Forfor, Dr Syauqi Abu Khalil, dan Ust.Muhammad Hisyam Burhani. Untuk
melanjutkan proyek kanonikalnya ini, al-Khatib akhirnya menyusun sebuah buku
yang sistematis dengan judul: al-Buthûlah wa al-Fidâ' Inda al-Sûfiyah:
Dirâsah Târîkhiyah.
Syahdan, Ketika zaman pemerintahan Al-Hakam al-Ayyûbi, kebutuhan
akan penyucian jiwa seakan sudah tidak bisa terelakkan lagi. Hal ini disebabkan
oleh beberapa faktor, di antaranya adalah meruyaknya fitnah-fitnah yang terjadi
di tengah masyarakat dan munculnya sekte-sekte keagamaan yang semakin menambah
keruh suasana, ditambah dengan ekspansi militer yang dilancarkan tertantara
salibis terhadap negara-negara Islam saat itu. Dari sinilah kaum sufi dengan
tasawufnya menemukan momentumnya. Jika demikian, maka tidak ada cara lagi
selain mengambil jalan tasawuf, atau Ibn Taimiyah lebih suka menyebutnya sebagi
suluk.
Di antara tokoh yang mempunyai andil besar dalam hal ini adalah: Aly ibn Husain al-Wâ'idz, Abdullah al-Yuniny, Abu Umar al-Maqdisy al-Hambali (w:607 H), Abu Abbas al-Maqdisy, Abu Thâlib al-Khafîfy al-Abhary (w:624), Hasan ibn Yusuf al-Makzun al-Sanjârî (w:638 H), Abdurrahman al-Jaljûlî (w:543 H), Al-Hajjâj al-Fundulâwy al-Mâliky, Abu Bakar al-Thûsy al-Shûfy (w:492 H), Yahya ibn Yusuf al-Sharsharî (w:656H), Najmuddin al-Kubrâ (w:618 H). Semua tokoh ini adalah representasi dari kaum sufi sejati dan orang yang paling berjasa dalam membentuk akhlak serta suluk masyarakat. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa ke-sufiannya bukanlah menjadi penyebab kemunduran umat, tetapi malah menjadi pelecut untuk berjihad melawan tentara Salib yang tidak mengenal rasa humanisme.
Di antara tokoh yang mempunyai andil besar dalam hal ini adalah: Aly ibn Husain al-Wâ'idz, Abdullah al-Yuniny, Abu Umar al-Maqdisy al-Hambali (w:607 H), Abu Abbas al-Maqdisy, Abu Thâlib al-Khafîfy al-Abhary (w:624), Hasan ibn Yusuf al-Makzun al-Sanjârî (w:638 H), Abdurrahman al-Jaljûlî (w:543 H), Al-Hajjâj al-Fundulâwy al-Mâliky, Abu Bakar al-Thûsy al-Shûfy (w:492 H), Yahya ibn Yusuf al-Sharsharî (w:656H), Najmuddin al-Kubrâ (w:618 H). Semua tokoh ini adalah representasi dari kaum sufi sejati dan orang yang paling berjasa dalam membentuk akhlak serta suluk masyarakat. Tetapi yang perlu dicatat, bahwa ke-sufiannya bukanlah menjadi penyebab kemunduran umat, tetapi malah menjadi pelecut untuk berjihad melawan tentara Salib yang tidak mengenal rasa humanisme.
Lalu kontribusi apakah yang telah disumbangkan oleh Al-Ghazali
(w:505 H)? Benarkah Al-Ghazali termasuk salah satu 'pentolan' sufi yang tidak
ikut bertempur dalam perang Salib, sebagaimana tuduhan-tuduhan para
kritikusnya? Untuk mengetahui jawabannya, maka dua poin penting pemaparan
penulis berikut perlu untuk diperhatikan. Pertama, sosok Al-Ghazali di kalangan
umum lebih dikenal sebagai seorang filosof, juris (faqîh), sufi, politikus, dan
pakar ilmu sosial. Kedua, Al-Ghazali hidup dalam suasana masyarakat yang sedang
carut-marut dalam segala aspek kehidupan (sosial, politik, agama,
adat-etika, dst). Maka, oleh sebab itu, Al-Ghazali melihat cara yang paling
cespleng untuk mengembalikan kejayaan Islam adalah dengan cara memperbaiki
etika-moral umat Islam itu sendiri, tidak yang lain! Akhirnya, dikaranglah
magnum opus-nya yang berjudul Ihya' Ulûm al-Dîn. Karena Al-Ghazali dan
pemikirannya yang tertuang dalam Ihya' inilah yang membentuk karakteristik dua
panglima perang besar sepanjang sejarah perang salib, yaitu sultan Nuruddin
Mahmud Zangki (w:569 H) dan sultan Shalahuddin Al-Ayyubi (w:589).
Membincang revolusi yang pernah diperoleh negara muslim dari
kolonialisme Inggris, Perancis, dan Italia di belahan dunia Arab dan Afrika
pada umumnya, dan Indonesia secara khusus, tidak bisa dilepaskan dari peranan
para tokoh sufi yang mengitarinya. Alkisah, pada saat itu, ribat (pesantren)
yang biasanya digunakan sebagai media tranformasi ilmu agama an sich, merangkap
sebagai benteng pertahanan laskar jihad yang tidak boleh dipandang sebelah mata
oleh kalangan koloni.
Untuk membuktikan tesis di atas, kita bisa melirik misalnya
tarekat Sanusiyah di Libia yang didirikan oleh Muhammad Ibn Ali al-Sanusi
(w:1859 M), kemudian diteruskan Umar al-Mukhtar (w:1931 M) dan Ahmad Syarif
al-Sanusi (w:1933 M) mampu mempecundangi tentara-tentara Italia dari bumi
Libia. Raja Abdul Qadir al-Jazâiri (w:1885M) seorang penganut thariqah
Qadiriyah tulen dan Syech Muhammad al-Haddad seorang pemimpin thariqah
Syâdziliyah berhasil membuat Perancis bertekuk lutut sampai tidak berdaya. Di
Sudan ada Muhammad Ahmad al-Mahdi (w:1885H) juga seorang pengikut thariqah
Syâdziliyah yang merupakan representasi sufi yang berhasil melepaskan Sudan
dari jajahan Inggris.
Para sufi di Mesir pun juga tidak mau ketinggalan, dengan
ketokohan Ahmad Arâbi yang sedari kecil terdidik di lingkungan sufi, beserta
para sufi-sufi yang lain, seperti Syech Hasan al-Adwa, Syech Muhammad 'Ulaisy
(w:1882M), Syech Mahmud al-Syadzili, Syech Mahmud al-Qâyâti, Syech Muhammad
Thanthawi (w:1888M) adalah orang-orang yang paling getol menyuarakan isu
revolusi Mesir di lingkungan Al-Azhar. Maka, ketika Napoleon Bonaparte menjajah
Mesir tahun 1798 M, kelompok sufi-lah yang paling gerah dengan kondisi ini, dan
merekalah yang mempunyai ide untuk menyatukan visi dan misi seluruh ulama untuk
mengadakan perlawanan terhadap penjajah. Demikian juga di negara-negara Arab
yang lain, di Yaman ada Syech Al-Hakîmi (w:1959 M), di Maroko ada Muhammad Ibn
Abd Kariem al-Khatthabi (w:1962M), Syech Muhammad Abdullah Hasan (w:1920 M)
berjuang di Somalia, Syech 'Utsman Ibn Faudâ (w:1817 M) seorang sufi dan
pejuang di Nigeria, dll.
Untuk konteks ke-Indonesiaan, konsep tasawuf dibawa oleh para
penyebar Islam dari Hadramaut yang akhirnya lebih dikenal dengan sebutan
Wali Songo. Dari tangan wali songo inilah yang akhirnya menelorkan para sufi
selanjutnya. Kontribusi para sufi di Indonesia semakin terasa ketika
pertempuran 10 November 1945. Dimana 18 hari sebelum pertempuran itu, Nahdlatul
Ulama (NU) menfatwakan resolusi jihad. KH.Hasyim Asy'ary memerintahkan KH.Wahab
Hasbullah dan KH. Bisri Syamsuri mengadakan rapat dengan Kiai se-Jawa dan
Madura di kantor PB Ansor NU, jalan Bubutan VI/2, 22 oktober 1945. Pada 23
Oktober 1945, atas nama Pengurus Besar NU, Kiai Hasyim mendeklarasikan jihad
fi sabilillah.
Resolusi jihad mampu menyulap berbagai pesantren dari tempat
pendidikan menjadi markas laskar Sabilillah dan Hisbullah untuk diberangkatkan
ke Surabaya. Para kiai dan pendekar tua membentuk barisan non regular
Sabilillah yang dikomandani oleh KH.Maskur. Para santri dan pemuda
berjuang dalam barisan pasukan Hisbullah yang dipimpin oleh H.Zainul Arifin.
Diantara alumnus kedua laskar yang masyhur ikut bertempur di Surabaya adalah KH
Munasir Ali, KH Yusuf Hasyim, KH Baidowi, KH Mukhlas Rawi, KH Sulanam Samsun,
KH Amien, KH Anshari, dan KH Adnan Nur.
Epilog
Dari fakta historis ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tasawuf mempunyai konribusi dan peran yang sangat signifikan dalam membangun peradaban umat manusia. Tuduhan bahwa tasawuf sebagai penyebab sekaligus yang bertanggung jawab atas kemunduran umat Muslim pun akhirnya termentahkan dengan fakta sejarah bahwa banyak di antara para mursyid tarekat dan jamaahnya yang justru berada di garda terdepan dalam melawan kolonialisme. Bukan yang lain! Fakta-fakta seperti inilah yang jarang dituliskan dalam buku-buku sejarah. Adapun tindakan sebagian pimpinan tarekat untuk mengasingkan diri dari keramaian manusia dengan berkhalwat di gunung misalnya, itu hanya khusus untuk mereka saja. Dan hendaknya tidak dipahami sebagai kewajiban kepada yang lain, sebagaimana diterangkan oleh Prof Dr Muhammad Said Ramadlan al-Buthi dalam bukunya Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah.
* Penulis adalah mahasiswa tinggkat III Fakultas Syariah Wal Qonun Universitas Al-Ahgaff, Hadramaut-Yaman.
Dari fakta historis ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa tasawuf mempunyai konribusi dan peran yang sangat signifikan dalam membangun peradaban umat manusia. Tuduhan bahwa tasawuf sebagai penyebab sekaligus yang bertanggung jawab atas kemunduran umat Muslim pun akhirnya termentahkan dengan fakta sejarah bahwa banyak di antara para mursyid tarekat dan jamaahnya yang justru berada di garda terdepan dalam melawan kolonialisme. Bukan yang lain! Fakta-fakta seperti inilah yang jarang dituliskan dalam buku-buku sejarah. Adapun tindakan sebagian pimpinan tarekat untuk mengasingkan diri dari keramaian manusia dengan berkhalwat di gunung misalnya, itu hanya khusus untuk mereka saja. Dan hendaknya tidak dipahami sebagai kewajiban kepada yang lain, sebagaimana diterangkan oleh Prof Dr Muhammad Said Ramadlan al-Buthi dalam bukunya Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah.
* Penulis adalah mahasiswa tinggkat III Fakultas Syariah Wal Qonun Universitas Al-Ahgaff, Hadramaut-Yaman.
www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar