Gerakan-Gerakan Sosial-Politik dalam Tinjauan Ideologis
H. As’ad Said Ali
Islamisme adalah tipologi ideologi besar kelima yang
menjadi orientasi politik kelompok-kelompok gerakan di Indonesia paska
reformasi. Empat tipologi ideologi besar lainnya (Kiri-Radikal, Kiri-Moderat,
Kanan-Konservati dan Kanan-Liberal) beserta varian-variannya sudah saya
sampaikan pada kesempatan sebelumnya; keempatnya itu bersumber dari pemikiran
Barat. Kini akan saya kemukakan mengenai tipologi kelima yakni Islamisme.
Saya membagi paparan ini dalam dua bagian. Bagian pertama,
mengenai varian-varian ideologi Islamisme. Bagian ini memberi gambaran umum
mengenai ciri pokok ideologis, pandangan dan orientasi politik masing-masing
varian, serta kelompok-kelompok gerakan Islam mana yang masuk dalam
kategori masing-masing varian Islamisme tersebut berdasarkan ciri-ciri
pokoknya. Bagian kedua, mengenai Islam non-mainstream. Bagian ini membedah
lebih dalam taksonomi gerakan-gerakan Islam tersebut, yang saya batasi pada
Islam baru, yaitu kelompok-kelompok gerakan Islam yang tumbuh sejak masa
reformasi. Alasannya karena kelompok Islam mainstream, seperti NU,
Muhammdiyah, Persis, Mathlaul Anwar dan sejenisnya, telah banyak diulas;
juga karena gerakan Islam baru yang tumbuh diluar jalur mainstream tersebut
kehadirannya secara sosial dan politik sangat fenomenal.
ISLAMISME
Islamisme sebagai ideologi politik pada dasarnya
dapat dibagi ke dalam empat kelompok gagasan, yakni Islam modernis, Islam
tradisionalis-konvervatif, Tranformisme Islam, dan Islam fundamentalis. Seperti
halnya tipologi ideologi besar yang bersumber dari pemikiran Barat,
masing-masing ideologi Islamisme itu juga memiliki sejumlah varian.
1. Islam Modernis
Ciri utama ideologi Islam modernis adalah berusaha
memajukan Islam melalui pengembangan gagasan-gagasan rasionalisme, liberalisme,
dan modernisme. Ada yang berorientasi politik dan biasanya kalangan ini
mengembangkan partisipasi politik demokratis di dalam masyarakat muslim melalui
partai-partai; ada yang menempuh jalan kultural dan biasanya berkonsentrasi
pada pengembangan masyarakat sipil dan menolak Islam-politik.
Secara umum dalam kelompok gagasan ini ada dua varian,
yakni liberal dan radikal. Varian liberal dari Islam modernis percaya bahwa
mereka harus mengambil posisi untuk melakukan sekularisasi politik dan ekonomi.
Sekularisasi politik dilakukan dengan cara memisahkan agama dari negara;
sementara sekularisasi ekonomi dengan cara memisahkan ekonomi dari negara.
Contoh yang baik dalam varian ini adalah Paramadina, yang
mendasarkan pandangan keagamaannya dan politiknya pada fikiran-fikiran
Nurcholis Madjid. Mereka memandang bahwa negara merupakan segi kehidupan
duniawi yang dimensinya bersifat rasional dan kolektif; sementara agama adalah
aspek kehidupan yang dimensinya spiritual dan pribadi. Dengan demikian mereka
memisahkan antara kehidupan agama dan negara. Dalam hal ekonomi pandangannya
cenderung kapitalistik dengan mendasarkan pada sebuah hadits yang berbunyi
“Sesungguhnya Allah-lah yang menentukan harga”, yang ditafsirkan dalam
perspektif Adam Smith sebagai invisible hands.
Pandangan-pandangan Nurcholis Madjid demikian banyak
dianut kalangan aktivis HMI dan kelompok modernis lainnya. Selain di NGO, para
aktivis varian ini banyak yang aktif di dunia akademis dan partai politik.
Sekalipun demikian, varian ini tidak mengagendakan gerakannya pada sebuah
target politik tertentu yang didasarkan pada tesis politik-keagamaannya.
Gerakan mereka tidak agresif, tidak terorganisir secara ketat, hanya bergerak
mengalir sesuai perkembangan lingkungannya.
Contoh lain yang paling telanjang adalah Jaringan Islam
Liberal (JIL). Para eksponen kelompok ini benar berasal dari kalangan
tradisionalis (NU); namun dilihat pandangan-pandangannya mereka telah jauh dari
tataran tradisionalisme. Dari segi pemikiran pada dasarnya mereka merupakan
kelanjutan dari pemikiran Nurcholis Madjid dan kawan-kawan. Mereka memandang
bahwa negara harus netral dari pengaruh agama apapun; sementara agama harus
berada didalam wilayah privat. Tegasnya, menurut JIL, negara haruslah bersifat
sekuler; negara adalah sebagai penjaga harmoni interaksi antar kelompok di
tengah masyarakat untuk menjamin nilai-nilai kebebasan dan demokrasi.
Sementara itu varian radikal dari modernisme Islam,
sebaliknya menolak westernisasi dan sekularisasi. Penolakannya terhadap
paradigma sekularisasi terutama terletak pada sifat deterministiknya, bahwa
dunia harus dibebaskan dari nuansa keagamaan, dan mustahil sebuah masyarakat
menjadi modern kalau tidak sekuler dulu. Inilah yang ditolak. Mengenai
paradigma rasionalisme mereka menerima, bahkan baginya Islam harus dikembangkan
dengan gagasan-gagasan rasionalisme. Varian-varian radikal ini banyak yang
kemudian terjatuh menjadi fundamentalis anti-Barat. Contoh varian ini banyak
kita temukan pada kelompok-kelompok Islam transnasional yang berkembang paska
reformasi, salah satunya Ikhwanul Muslimin Indonesia. Islam transnasional yang
saya maKsud adalah kelompok-kelompok gerakan Islam yang keberadaannya menjadi
bagian dari gerakan Islam internasional.
2. Islam Tradisionalis-Konservatif
2. Islam Tradisionalis-Konservatif
Ini adalah jenis ideologi Islamisme konservatif, meskipun
secara politik bisa saja mengambil bentuk-bentuk modern atau fundamentalis.
Inilah jenis Islam arus-utama yang menjadi basis organisasi-organisasi sosial
keagamaan yang besar, seperti Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah selama ini
memang disebut kelompok modernis karena sifat paradigma keagamaannya cenderung
pada rasionalisme; namun dalam perspektif ini, ideologi politiknya adalah
konservatif yang terlihat dari bahwa sikap dasar politiknya lebih mengedepankan
sikap moderat, kooperatif dan tidak oposan serta bisa berakomodasi ke dalam
negara nasional. Sementara NU, sekalipun tradisi pemikiran politiknya selalu
berubah sesuai tantangan yang dihadapi, namun pandangan dasarnya adalah tetap,
bahwa prinsipnya negara dan pemerintah wajib ditaati dengan catatan sepanjang
syariah dijamin dan kekufuran (pelanggaran terhadap hukum dan sejenisnya)
dicegah.
Gerakan-gerakan keagamaan mainstream lainnya, seperti
Perti, Persis, dan sejenisnya, masuk dalam kategori varian ini. Sikapnya yang
bisa berakomodasi ke dalam negara-bangsa, barangkali berhubungan dengan
kesejarahan kelompok-kelompok gerakan keagamaan arus-utama ini; bahwa NU
dan Muhammdiyah misalnya, merupakan bagian dari organisasi-organisasi yang
terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan dan pendiri negara-bangsa ini,
dan oleh karena itu menjadi salah satu “pemegang saham” negara Republik
Indonesia. Aspek kesejarahan demikian mendorong kelompok-kelompok gerakan ini
dalam merespons kebijakan-kebijakan pemerintahan lebih mendasarkan pada
cita-cita politik kebangsaan, dan NKRI adalah final. Karena itu varian
tradionalis-konservatif ini juga cenderung a-politis mengenai isu politik
sehari-hari dan memiliki preferensi untuk memilih gerakan Islam kultural
ketimbang Islam-politik.
Varian neo-tradisionalis, sebaliknya cenderung menolak
berakomodasi ke dalam entitas negara-bangsa karena mengingingkan entitas umat
universal di bawah kekhalifahan dunia. Contoh yang paling gamblang dari varian
ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Namun gagasan Pan-Islamisme semacam
ini lebih sedikit muncul di kalangan tradisionalis-konservatif ketimbang yang
muncul di kalangan fundamentalis. Masih dalam kategori varian ini, terdapat kelompok
lain yang menolak berakomodasi ke dalam negara-bangsa tetapi, yang membedakan
dengan kelompok yang disebut sebelumnya, kelompok ini tidak memiliki cita-cita
politik tertentu, kecuali semangat pembentukan komunalisme global. Kelompok
ini bersikap a-politis secara total karenanya preferensinya memilih
gerakan Islam kultural ketimbang Islam-politik, dapat disebut disini misalnya
Darul Arqam dan Jamaah Tablig. Tiga kelompok tersebut, Hizbut Tahrir, Jamaah
Tablig dan Darul Arqam, ketiganya termasuk yang saya sebut sebagai Islam
transnasional, dan keduanya merupakan Islam non-mainstream.
3. Transformisme Islam
Pengaruh pemikiran kiri di dalam Islam muncul di Indonesia
di bawah payung Transformisme Islam. Dalam paham mereka ini, Islam harus
menjadi kekuatan progresif dan transformatif dengan misi utama untuk menegakkan
keadilan, membela sektor-sektor masyarakat yang marginal dan tertindas, dan
melawan kezaliman dalam politik maupun ekonomi. Varian ini memandang modernisme
dengan ideologi pembangunannya telah menghasilkan eksploitasi dan marjinalisasi
terhadap kaum miskin, dhu’afa dan mustadh’afin; dan pada gilirannya kemiskinan
mengakibatkan banyak ummat manusia tidak mampu mengekspresikan harkat dan
martabat kemanusiannya. Modernisasi melahirkan struktur sosial yang tidak adil
dan terjadinya konsentrasi kekuasaan, modal dan informasi hanya pada
sekelompoki elite, dan mereka inilah yang memonopoli kekuasaan dan mengontrol
mereka yang tidak diuntungkan.
Gagasan-gagasan penting Islam transformis ditemukan dalam
beberapa pemikiran aktivis Muslim yang bergerak di dalam organisasi-organisasi
masyarakat sipil maupun NGO seperti Moeslim Abdurrahman dan Masdar Mas’udi. Di
tingkat internasional tokoh-tokoh seperti Ali Asghar Engineer (India), Ali
Shariati (Iran), serta Hassan Hanafi (Mesir). Mereka berorientasi politik
sekaligus kultural dalam gerakannya, tidak punya problem dengan entitas negara
nasional, sangat pluralis, inklusif, dan memperjuangkan demokrasi.
Di Indonesia, para eksponen varian transformisme Islam
hanya sedikit yang aktif dalam partai politik. Mereka yang berorientasi politik
banyak membangun jaringan dengan gerakan-gerakan kelompok sosialis dan kelompok
kiri lainnya. Di kalangan ini pandangan politik varian transformisme
Islam dikenal sebagai sosialisme Islam dan umumnya menjadi motor ideologis bagi
kelompok-kelompok gerakan yang berbasis Islam.
4. Islam Fundamentalis
Sumber-sumber ideologis fundamentalisme di dalam Islam
sangat beragam. Mereka juga sering disebut sebagai kelompok neo-revivalis,
karena mengagendakan kebangkitan hegemonis Dunia Islam. Dalam setting
kontemporernya, akar fundamentalisme itu bisa ditelusuri pada permusuhan Barat
terhadap dunia Muslim, misalnya sebagaimana dirumuskan oleh ramalan Huntington
tentang clash of civilization. Mereka menolak sekularisasi, westernisasi, dan
bahkan modernisasi. Penyebab maraknya fundamentalisme Islam adalah
berkembangnya paham-paham keagamaan terutama yang dipasok oleh wahabisme.
Mereka juga cenderung menolak demokrasi, dan kemudian bergerak di bawah tanah
serta berorientasi sangat-politis dengan basis jamaah-jamaah yang eksklusif. Di
kalangan tertentu gerakan-gerakan fundamentalis, mereka menginginkan tegaknya
kepemimpinan politik universal.
Kelompok ini secara keagamaan disebut Salafi; mereka ingin
menerapkan Islam sebagaimana kalangan salaf (kalangan terdahulu) dalam
mengamalkan ajaran Islam. Mereka berusaha menggunakan metode (manhaj) salafy
dalam memahami Islam dengan ciri utama kuatnya pendekatan tekstualis. Argumen
seperti ini dapat kita temukan dalam setiap gerakan Salafi, baik itu pada masa
kuno (masa sahabat nabi) ataupun masa modern sekarang ini. Kerangka gagasannya
adalah penolakan terhadap realitas “sekarang” dan keharusan mengubah realitas,
sesuai dengan keagungan dokrin (dengan mengambil sampel sejarah masa lalu yang
dipilih paling sesuai dengan doktrin). Karena kuatnya referensi ke masa lalu,
maka dengan sendirinya kurang memberi tempat pada pertimbangan realitas
sekarang.
Secara simbolis, berkembangnya gerakan Salafi ini terlihat
bahwa sekarang ini gejala yang nampak adalah adanya simbol-simbol baru Islam
yang lazim di Timur Tengah, digunakan pula oleh masyarakat muslim Indonesia.
Munculnya simbol ini seiring dengan pemahaman baru tentang Islam di mana wanita
berjilbab misalnya, harus menggunakan cadar (penutup wajah), kalaupun pria
berbaju putih dengan model celana panjang di atas mata kaki, plus janggut yang
panjang. Penggunaan simbol, yang tidak memasyarakat tersebut, tentu saja bukan
sesuatu yang mudah untuk diperkenalkan, kecuali memiliki militansi yang cukup
untuk memperkenalkan simbol baru.
Gerakan tersebut tentu saja tidak sebatas simbolisme
belaka. Di luar itu, masih terdapat sejumlah gerakan Salafi lainnya, seperti
“gerakan Imam Samudra”, gerakan Tarbiyah, Hisbut Tahrir dan sebagainya. Apabila
dicermati lebih jauh, benang merah dari beragam gerakan tersebut adalah gerakan
yang tumbuh di Timur Tengah dengan ciri dominan, kuatnya interpretasi
tekstualis. Meskipun demikian, sebagaimana disinggung di muka, model pemahaman gerakan
salafi di Timur Tengah, tentunya tidak serta merta dapat digunakan dalam
memotret gerakan salafi Indonesia. Selalu saja ada partikularisme. Hal ini
semakin signifikan apabila melihat salah satu ciri gerakan salafi yang lebih
tertutup dibandingkan gerakan Islam modern. (bersambung)
Sumber : www.nu.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar