Selamat Datang

Assalamu'alaikum Wr.Wb
Selamat datang di blogku, silakan Anda baca..Semoga bermanfaat...

Minggu, 25 November 2012

Madzhab ( Bag. 2 )


Pada perkembangan selanjutnya para Ulama pesantren terus menerus berusaha untuk mengembangkan sistem bermadzhab ini. Karena zaman bergulir begitu cepatnya, waktu melesat tak dapat dicegat, dan perubahan tak mungkin dielakkan, sementara fiqh Islam harus hadir memberikan solusi untuk menjawab berbagai persoalan kemasyarakatan, maka umat Islam dituntut untuk dapat berkreasi dalam memecahkan berbagai persoalan tersebut. Sehingga diperlukan pendekatan 'baru' guna membuktikan slogan "sholihun likulli makanin wazamanin".  Salah satu bentuknya adalah dengan mengembangkan fiqh sosial sebagai upaya mengembangkan pola bermadzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermazhab metodologis (madzhab manhaji) dalam fiqh Islam, sebagaimana digagas oleh DR. KH. Sahal Mahfudh.


Mengutip hasil halaqah P3M, ada beberapa ciri yang menonjol dalam fiqh Sosial. Ciri-ciri tersebut diantaranya adalah melakukan interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, perubahan pola bermadzhab, dari madzhab secara tekstual (madzhab qawli) menuju pola bermadzhab secara metodologis (madzhab manhaji), verifikasi ajaran secara mendasar, dengan membedakan ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu'), dan pengenalan metodologi filosofi, terutama dalam masalah budaya dan sosial. (KH. Sahal Mahfudh, dalam Duta Masyarakat, 18 Juni 2003)

Namun demikian, usaha ini hanya bisa dilakukan dalam persoalan sosial kemasyarakatan (hablun min al-nas), tetapi tidak bisa masuk pada wilayah hubungan seorang hamba kepada khaliqnya (hablun minallah). Artinya, dalam hubungan dengan sesama manusia, kaum muslimin harus mampu membuat berbagai terobosan baru untuk menjawab dinamika sosial yang terus bergulir dengan cepat. Namun itu tidak berlaku dalam hubungan vertikal seorang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab yang dibutuhkan dalam ibadah adalah kepatuhan seorang hamba yang tunduk dan pasrah hanya menyembah kepada-Nya. Sebagaimana sebuah kaidah yang diungkapkan oleh Syathibi dalam al-Muwafaqat-nya:


"Asal dalam masalah ibadah adalah ta'abbud, tanpa perlu melihat maknanya. Sedangkan asal dalam mu'amalah (interaksi antara sesama manusia) adalah memperhatikan maknanya (esensinya).” (Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, juz II, hal. 300)

Dari penjelasan sederhana ini, dapat ditarik beberapa kesimpulan, Pertama, madzhab merupakan sebuah 'jalan' yang `disediakan' oleh para mujtahid sebab adanya perbedaan pendapat di antara mereka. Kedua, umat Islam tidak harus terikat pada satu madzhab tertentu, telapi mereka diberi kebebasan untuk memilih madzhab. Namun, ketiga, yang berhak ‘diikuti’ hanya terbatas pada empat madzhab saja, yakni madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Dan keempat, umat Islam perlu mengembang pola bermadzhab yang dapat menjamin kemaslahatan masyarakat khususnya masalah sosial kemasyarakatan dalam hubung dengan sesama manusia.(habis)

Sumber : Fiqh Tradisionalis (KH. Muhyiddin Abdusshomad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar