Selamat Datang

Assalamu'alaikum Wr.Wb
Selamat datang di blogku, silakan Anda baca..Semoga bermanfaat...

Rabu, 16 Mei 2012

Meraih Kebahagiaan Sejati (Lanjutan)


2. Apa yang sedang kita lakukan di dunia ini?
Jawabannya cukup tegas diinformasikan Allah dalam QS.Al-Dzariyat:56:

 “Dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah-Ku.”

Kata ‘ya’budūn’ di ayat ini umum diterjemahkan ‘beribadah’. Sementara kata ‘ibadah’ sendiri adalah derivasi dari kata bahasa Arab ‘îbâdah’, dari kata dasar ‘âbada’. Kita diciptakan untuk beribadah, bukan untuk lainnya. Sehinga jawabannya adalah, kita di dunia ini adalah dalam rangka beribadah kepada Allah.

Di masyarakat, kata ‘ibadah’ tidak jarang dipahami sebagai aktifitas-aktifitas tertentu yang diwajibkan atau dianjurkan agama seperti shalat, puasa, zakat, wudhu, sedekah, dan lain-lain. Sehingga ayat ini sering dijadikan dalil bagi sementara orang untuk beragama dengan berhenti pada tingkat ritual. Sementara pandangan hidup, sikap dan perilaku kesehariannya tidak mencerminkan pribadi yang beragama. Atau, bagi bagi mereka yang meninggalkan pergaulan sosial dan menenggelamkan diri sehari-harinya dalam aktifitas ritual.

Jika demikian, tentu akan banyak waktu hidup kita yang habis bukan untuk ibadah, seperti mandi, makan, pergi ke pasar, tidur, berdagang, dan lain-lain. Sebab aktifitas-aktifitas yang diwajibkan atau dianjurkan itu jumlahnya terbatas. Apalagi kemampuan fisik kita pun terbatas untuk melaksanakan seluruhnya. Bukankah ini sebuah pelanggaran atas ayat tersebut? Maka, ‘ya’budūn’ pada ayat itu perlu dimaknakan secara generik, yakni menghamba, patuh dengan penuh kepasrahan, atau mencintai secara totalitas. Sehingga ayat tersebut bisa diartikan secara bebas “Aku menciptakan jin dan manusia tidak lain agar mereka tunduk-patuh kepada-Ku atas dasar cinta yang tulus’.


Ini kiranya sejalan dengan pemaknaan Syaikh al-Razi terhadap ibadah dalam ayat ini, sebagai sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai suci Allah baik yang berupa perintah, larangan, anjuran maupun informasi-informasi. Serta bersikap penuh kasih kepada seluruh ciptaan-Nya. Ayat ini juga berarti bahwa, cara pandang, sikap, perilaku dan aktifitas keseharian kita selayaknya diorientasikan sebagai wujud penghambaan kepada Allah SWT.

Maka seorang Mukmin yang sejati ialah dia yang selalu sadar akan hakekat penciptaannya ini, dan yang kesadarannya ini memancar ke dalam langgam berpikir dan kepribadiannya. Setiap helai pemikiran, kata dan perilakunya dimaknakan secara filosofis sebagai ekspresi ketundukan tulus kepada Allah SWT. Makan, minum, olahraga, berpakaian, bekerja, berkeluarga dimaknakan serupa dengan shalat, puasa, zakat dan ritualisme lainnya sebagai rangkaian peribadatan sehari-hari. Dengan begitu, tidak akan ada ruang, atau paling tidak sedikit ruang bagi aktifitas-aktifitas yang bukan ibadah. Dengan kata lain, komitmen pada kesadaran ini akan memberi sedikit ruang bagi berkembangnya potensi-potensi kemaksiatan dalam diri seorang insan. Jadi, nilai setiap aktifitas kita di hadapan Allah tergantung pada pemaknaannya secara filosofis, baik sebelum, selama maupun sesudah pelaksanaannya.

Penafsiran ini kiranya berkorelasi positif dengan sebuah hadits terkenal:

 “Setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya. Jika dia berhijrah dengan niat rela untuk Allah dan Rasul-Nya, maka demikianlah Allah dan Rasul akan menilainya. Namun jika ia berhijrah karena perkara duniawi atau karena perempuan yang hendak dipinang, maka nilai hijrahnya akan bernilai tidak lebih dari itu saja ” (HR.Bukhori-Muslim). (bersambung)
* Penulis adalah Anggota LDNU PCNU Kab.Bogor; Mahasiswa* Pascasarjana Islamic Philosophy di the Islamic College of Advanced Studies (ICAS) Jakarta. 
Meraih Kebahagiaan Sejati (2)
*Oleh. Cecep Zakarias El Bilad

3. Dari mana kita berasal?
 Jawaban pertanyaan ketiga ini terdapat dalam QS.15:28-29,

“Dan ketika Tuhanmu berkata kepada para Malaikat ‘telah Aku ciptakan sedemikian rupa jasad manusia dari onggokan tanah liat…Maka sesudah jasad itu sempurna dan Aku tiupkan ruh-Ku ke dalamnya, bersujudlah kalian padanya wahai para Malaikat.”

Dua ayat ini menggambarkan bagaimana manusia diciptakan dalam dua tahap, tahap pembuatan jasad, dan tahap pemberian ruh ke dalam jasad tersebut. Ayat ini menjadi landasan suci tesis para filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan Al Ghazali bahwa sosok manusia itu terdiri atas dua aspek, jasad dan jiwa/ruh. Dari keduanya, jiwa-lah yang utama. Jasad hanya sebatas wadah/tempat bagi jiwa untuk bekerja. Tanpa jiwa, jasad tak lebih dari seonggok daging yang membungkus tulang-tulang dan yang berbahan dasar tanah liat. Jiwa-lah yang membuat jasad tersebut bergerak.

Malaikat yang tercipta lebih dahulu dalam ayat itu diperintahkan Allah untuk bersujud kepada manusia. Sujud di sini, seperti dikatakan al-Thabariy dan al-Baghawi, bukan penghambaan, tetapi sujud tanda penghormatan dan pemuliaan sosok manusia. Perintah tersebut diberikan setelah jasad manusia itu disempurnakan dengan dimasukkannya ruh Allah (min rûhî). Ruh di sini barang kali bisa berarti seperangkat piranti keunggulan yang dimasukkan Allah ke dalam jasad tersebut. Ruh tidak hanya membuatnya bisa bergerak, tetapi juga menyimpan potensi-potensi yang tidak dimiliki oleh malaikat dan mahluk-mahluk lain termasuk iblis yang pada ayat selanjutnya dijelaskan tidak mau bersujud.

Nyatanya, memang hanya manusia yang “mewarisi” kemampuan-kemampuan, namun dalam kapasitas yang sangat terbatas, yang hanya dimiliki Allah, seperti berkreasi, memerintah, berkasih-sayang, adil, berpikir/mengetahui, dan lain-lain. Potensi-potensi inilah yang memungkinkannya menerima kehormatan dari Allah untuk menjadi khalifah/pemimpin di muka bumi. Meskipun secara fisik manusia terbuat dari tanah, keunggulan-keunggulan ruhani inilah yang barang kali menjadi alasan mengapa malaikat dan iblis diperintahkan sujud hormat kepada manusia. Aspek imateri dari manusia ini tidak dilihat oleh iblis sehingga dia menolak untuk bersujud. Iblis hanya melihat aspek fisikal manusia dari tanah yang menurutnya tidak lebih mulia dari dirinya yang tercipta dari api. Maka bisa dimengerti mengapa para Sufi dan filsuf Muslim memberikan perhatian besar pada persoalan jiwa ini. Bagi mereka, manusia sejatinya adalah dia yang bersemayam di balik wujud fisiknya. Wujud fisik tersebut hanya sebatas media untuk hidup di alam fisik ini. Bahkan bagi Suhrawardi, seorang filsuf Muslim abad ke-12, jasad itu seperti penjara. Manusia tak akan pernah merasakan kebahagiaan sejati sebelum dia benar-benar keluar dari jasadnya. Baginya, jasad adalah penjara yang pengap.

4. Akan ke mana kita esok hari?

Untuk pertanyaan terakhir ini, banyak sekali ayat yang bisa dirujuk. Beberapa di antaranya adalah:
QS.29:57
“Setiap esensi pasti akan musnah. Semuanya akan kembali pada Kami”

QS. Yunus:56
  
“Dia lah yang menghidupkan dan mematikan. Kepada-Nya kalian akan kembali (dikembalikan).”
QS. Ali Imran:83

 “Apakah mereka mencari jalan keimanan lain selain jalan Allah. Padahal, kepada-Nya segala apa yang di langit dan di bumi berserah diri dengan rela maupun terpaksa. Dan kepada-Nya semua itu pasti akan kembali (dikembalikan).”

Lepas dari konteks pembicaraannya masing-masing, ketiga ayat ini memiliki sebuah titik temu bahwa, segala sesuatu di alam raya ini, benda maupun peristiwa, berjalan menuju arah yang sama, yaitu Dia, Allah. Artinya bahwa, keberadaan kita, alam raya dan seluruh isinya, bukan keberadaan yang mutlak dan abadi. Awalnya, kita dan semuanya itu adalah tidak ada, lalu menjadi ada seperti saat ini. Akhirnya akan kembali menjadi tidak ada, mati, musnah.

Tiga ayat tersebut menginformasikan, bahwa proses keberadaan-ketidakberadaan ini tidak berlangsung sendiri. Tetapi ada subjek yang menjalankannya. Bahwa segala sesuatu menjadi ada berarti ada yang mengadakan. Dan bahwa segala sesuatu tersebut akan lenyap berarti ada yang melenyapkan. Ini terlihat pada kalimat “turja’ûn” dan “yurja’ûn” pada ketiga ayat itu. Keduanya adalah kalimat pasif bermakna “kalian dikembalikan” dan “mereka dikembalikan”. Siapa yang mengembalikan? Dia-lah Allah. Sebab dari semua yang ada, semua yang hidup dan semua yang mati. Dia-lah yang ada secara mutlak. Dia ada tanpa sebab, karena Dia-lah sebab itu sendiri. Dia-lah al-Awwal dan al-Âkhir, dan selain Dia adalah hadîts (baru).

Dalam konteks manusia dan mahluk hidup lainnya, akhir dari kehidupan adalah mati. Sementara kehidupan sendiri, seperti dalam uraian pertanyaan ketiga, tak lain adalah kondisi bersatunya jiwa dengan jasad materi. Bersatunya dua wujud tersebut terjadi di tempat yang disebut alam dunia. Maka mati sesungguhnya adalah saat dimana jiwa keluar/dikeluarkan (yurja’u) dari jasadnya. Setelah terpisah dari jiwanya, jasad menjadi tak lebih dari onggokan daging yang akan segera membusuk. Allah kemudian melalui Nabi-Nya mengajarkan untuk menguburkan jasad tersebut, agar segera kembali ke wujudnya semula, tanah.

Sementara jiwa ditempatkan Allah di alam ruh guna menjalani proses ‘kehidupan’ selanjutnya. Ada banyak fase kehidupan, seperti diinformasikan dalam al-Quran dan Hadits. Kiamat menjadi titik akhir seluruh kehidupan alam semesta ini. Sampai di sini para ahli berbeda pendapat apakah saat tersebut adalah akhir dari kehidupan alam jasad/materi maupun ruh, atau hanya jasad; juga mereka berselisih apakah fase kehidupan pasca kiamat itu adalah kehidupan jiwa plus jasad atau jiwa semata. Hanya Dia yang mengetahui dan berkuasa ke mana dan bagaimana ciptaan-Nya akan dikembalikan.

Lautan Jiwa

Dalam karya sufistiknya the Garden of Truth, Seyyed Hussein Nasr mengatakan “life is a journey” hidup ialah sebuah perjalanan. Perjalanan hidup manusia terjadi di ruang bernama alam dunia. Sementara alam dunia sendiri bergerak menuju suatu arah. Dan perjalanan hidup manusia beriringan dengan perjalan hidup alam dunia ini. Semua berjalan dari tidak ada menjadi ada, dan akan kembali menjadi tidak ada. Pada saat ketiadaan alam semesta ini yang ada hanya Dia. Namun Dia tetap ada ketika saat ini alam semesta itu ada. Seperti diurai di atas, Dia adalah sumber dari semua keberadaan (the Source of all existence). Dia ada dengan diri-Nya sendiri, tanpa sebab, tanpa permulaan, tanpa akhir. Dia yang menciptakan, dan dia pula yang menghancurkan. Dia yang tak diciptakan dan tak mengenal hancur.

Kehidupan manusia dan kehidupan alam semesta, kembali menurut Nasr, ialah ibarat perjalanan berputar. Bertolak dari satu titik, berjalan, terus berjalan, dan akan kembali pada titik semula. Artinya, bahwa yang ada mutlak dan pasti itu (Wâjib al-Wujûd/Necessery) hanya satu, Allah. Sementara semua wujud yang lain bertolak dari wujud mutlak tersebut. Wujud-wujud lain tersebut adalah wujud yang tidak pasti (mumkin al-wujûd/possible), imanen, fana, temporal. Wujud-wujud ini pada waktunya akan kembali pada Wujud Satu yang Mutlak itu. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa Allah itu adalah sebuah wujud materi seperti titik. Perumpamaan ini sebatas upaya untuk mempermudah penggambaran tentang hakekat kehidupan, meski bukan perumpamaan yang sempurna sebab Allah memang tidak berpadanan (mukhâlafah li al-hawâdits).

Kembali pada ‘dunia’ manusia. Titik tolak kehidupan manusia tentunya adalah saat kelahiran, dan titik akhirnya adalah kematian. Dan persis pada saat ini, kita tengah berjalan di garis antara dua titik tersebut. Garis yang kita namakan sebagai ‘kehidupan’. Tuhan kemudian menginformasikan tentang tujuan penciptaan kita manusia untuk beribadah, baik dalam arti umum seperti diurai di atas maupun khusus berupa ritual-ritual. Perintah ini sejatinya bermakna zikir. Ini merupakan cara Tuhan memperingatkan manusia agar selalu ingat akan hakekat serta tujuan penciptaan dirinya dan alam semesta. Konteks pembicaraan surat Al-Dzariat: 56 sendiri adalah tentang betapa umat manusia zaman para nabi terdahulu lupa akan hakekat diri dan alam semesta. Mereka tidak lagi mengenal siapa Tuhannya. Diutusnya para rasul mengemban misi mengembalikan kesadaran mereka akan hakekat semua itu. Kisah ini menjadi pengajaran bagi umat Nabi Muhammad SAW agar tersadar dan tidak terjerembab ke dalam perangkap yang sama.

Kesadaran ini akan mengangkat manusia dari jebakan-jebakan perjalanan hidup: kegemerlapan, kesenangan, kemewahan, kenyamanan, dan lain-lain, yang semuanya itu semu belaka. Sebab hidup sebagai perjalanan berarti bahwa, tidak ada yang lebih berharga selain perjalanan itu sendiri. Segala hal yang dialami, dirasakan dan dimiliki selama perjalanan tidak lebih dari sekedar sesuatu yang bisa diceritakan setelah perjalan berakhir. Namun memang, cara kita melewati semuanya itu tidak hanya berbekas sebagai kesan, tetapi juga menjadi penilaian yang menentukan nasib kita kelak di perjalanan hidup di alam selanjutnya.

Secara praktis, memaknakan hidup sebagai perjalanan berarti bahwa seluruh yang kita miliki, dan yang kita nikmati di alam raya ini selayaknya diorientasikan semata kepada penghambaan (ibadah) tulus kepada Allah SWT: uang, kendaraan, jabatan, tanah, rumah, pakaian, alat-alat olahraga, udara, anak, istri, dan lain sebagainya. Ini semua sebagai ‘ongkos’ dan sarana yang disediakan Allah untuk kita semua dalam melaksanakan misi perjalanan dunia ini (QS.16:4-16). Oleh Sang Pemberi misi, semuanya kelak di Hari Pengadilan akan dimintai pertanggungjawaban. Al-Quran dan Sunnah sudah secara lengkap menghimpun berbagai prinsip, hukum dan tips agar selamat dalam perjalanan. Kembali pada masing-masing kita, sejauh mana mau mempelajari, memahami dan berkomitmen merefleksikannya dalam pikiran, sikap dan tindakan.

Akhirnya dapat dirumuskan, bahwa kesadaran hidup sebagai sebuah perjalanan menjadi kunci menggapai kebahagiaan sejati. Kebahagiaan yang lahir dari pengetahuan akan hakekat penciptaan kehidupan, serta kejujuran menerima pengetahuan tersebut sebagai kebenaran sejati. Kesadaran ini menjadi modal filosofis untuk merumuskan pikiran, sikap dan langkah menghadapi setiap jengkal hari. Dari sini kita dapat menyusun cita-cita, target dan skala prioritas dalam hidup dan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di dalamnya: mana yang diperlukan dan mana yang tidak; mana yang baik dan mana yang buruk; mana yang harus, boleh, tidak boleh; mana yang harus didahulukan dan mana yang harus diakhirkan; dan seterusnya.

Kebahagiaan di sini ialah kerelaan jiwa terhadap setiap potensi dan kekurangan yang dimiliki, kondisi yang dirasakan, peristiwa yang menimpa dan persoalan yang menghadang. Kerelaan ini memancar dari jiwa yang tersinari oleh pengetahuan akan hakekat kehidupan. Dan dari jiwa yang yakin bahwa Allah telah menganugerahkan bumi dan isinya untuk kebutuhan para musafirnya. Bagi jiwa yang rela ini, tak seorang musafir bumi pun yang diutus tanpa perbekalan. Allah mengetahui tingkat kebutuhan dan kemampuan setiap musafir-Nya. Dia menganuerahkan perbekalan tersebut dengan jumlah dan kualitas yang beragam, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing. Dia tahu persis akan hal itu. Dia-lah yang Adil sejati. Sehingga bagi musafir yang rela itu, banyak sedikit perbekalan yang dianugerahkan tidak menjadi masalah: banyak tidak melenakan; sedikit tidak menyengsarakan. Baginya, tidak ada yang lebih berharga dari perjalanan itu sendiri. Perjalanan dengan tunduk pasrah dan tulus menuju sumber dari segala keberadaan.

Dengan kata lain, jiwa yang rela memandang hidup ini bukan sebagai buku kosong, tetapi sebagai buku yang setiap halamannya dihiasi kisah-kisah. Dengan kerelaan, jiwa akan memfokuskan konsentrasinya pada setiap kisah yang tersaji. Baginya, kesuksesan menangkap makna setiap kisah tersebut menjadi kunci sukses memahami keseluruhan isi buku tersebut. Sebuah buku yang menghadirkan kisah-kisah tentang kemiskinan, penyakit, kecelakaan, kegagalan, musibah, dan juga tentang kekayaan, kesuksesan, kesehatan, kesejahteraaan, kekuasaan, kecantikan, ketampanan, kecerdasaan, popularitas, dan lain sebagainya.

Setiap jiwa memiliki kisahnya masing-masing, dengan tema-tema yang beragam antara satu jiwa dengan lainnya. Jiwa yang rela tak akan terlena dengan satu atau dua kisah saja. Dia akan semangat menyelami setiap kisah hingga halaman akhir hidupnya.

Sebaliknya, jiwa yang tidak rela akan terlena pada satu atau dua kisah saja. Kisah yang melenakan ini biasanya yang bertema jenis kedua di atas, kekayaan, kesehatan, kesejahteraan, popularitas. Dia tidak mampu memahami pesan dalam kisah-kisah lainnya, karena konsentrasinya hilang, tertinggal di satu kisah yang lampau itu. Ketidakmampuan yang berbuah kesengsaraan (hidup). Dia lupa, dan benar-benar lupa bahwa, mau tidak mau, dia harus membaca seluruh isi buku hidupnya. Dia juga lupa, bahwa ada banyak buku kehidupan yang harus (pasti) dia baca.
(tamat)

diambil dari : ww.nu.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar