Selamat Datang

Assalamu'alaikum Wr.Wb
Selamat datang di blogku, silakan Anda baca..Semoga bermanfaat...

Sabtu, 21 April 2012

RAHASIA DI BALIK MATERI


Rahasia di Balik Materi
(Harun Yahya)

Dunia dari Sinyal Listrik
Semua informasi yang kita miliki tentang dunia yang kita huni dibawa kepada kita oleh kelima indra kita. Maka, dunia yang kita kenal terbangun dari apa yang mata kita lihat, tangan kita rasakan, hidung kita cium, lidah kita cecap, dan telinga kita dengar. Tidak pernah kita berpikir bahwa dunia luar barangkali sesuatu yang bukan seperti yang disajikan oleh indra-indra kita, sebab kita telah bergantung sepenuhnya kepada semua indra itu sejak lahir. Namun, penelitian mutakhir di berbagai bidang ilmu pengetahuan menunjuk ke fakta yang sangat berbeda dan menimbulkan keraguan besar tentang dunia “luar” yang kita tangkap dengan indra kita.


Sesuai dengan temuan-temuan ilmiah, yang kita tangkap sebagai “dunia luar” hanyalah hasil dari otak yang terangsang oleh sinyal-sinyal listrik yang dikirimkan oleh organ-organ indra kita. Untuk pemahaman baru ini, titik awalnya adalah bahwa setiap yang kita tangkap sebagai di luar kita hanyalah tanggapan yang dibentuk oleh sinyal-sinyal listrik di otak kita. Merahnya apel, kerasnya kayu—
lebih-lebih, ibu, ayah, keluarga, dan segala sesuatu yang kita miliki, rumah, pekerjaan, dan bahkan halaman-halaman buku ini—semuanya tersusun hanya dari sinyal-sinyal listrik. Tentang hal ini, ahli biokimia Jerman Frederick Vester menjelaskan sudut pandang yang dicapai ilmu pengetahuan:

Pernyataan sebagian ilmuwan yang membenarkan bahwa manusia itu sebuah citra, segala yang dialaminya fana dan memperdaya, dan bahwa alam semesta ini hanya sebuah bayangan, semua tampaknya dibuktikan oleh ilmu pengetahuan saat ini.

Untuk menjelaskan hal ini, renungkanlah pancra indra yang menyediakan bagi kita semua informasi tentang dunia luar.

Bagaimanakah Kita Melihat, Mendengar, dan Mencecap?
Tindakan melihat disadari bertahap. Cahaya (foton-foton) bergerak dari benda melalui lensa di bagian depan mata, tempat citra dibiaskan dan jatuh terbalik di retina di bagian belakang mata. Di sini, cahaya yang menerobos ini diubah menjadi sinyal-sinyal listrik yang diteruskan oleh neuron-neuron ke bintik kecil di bagian belakang otak yang disebut pusat penglihatan. Setelah serangkaian proses, sinyal-sinyal listrik di pusat otak ini diubah menjadi sebuah citra. Tindakan melihat sebenarnya terjadi di bagian belakang otak ini, di bintik kecil yang sangat gelap, tersekat sama sekali dari cahaya.

Walaupun proses ini sebagian besar dimengerti, ketika kita menyatakan, “Aku melihat,” sebenarnya kita menangkap akibat denyut-denyut cahaya yang mencapai mata kita, mengubahnya menjadi sinyal-sinyal listrik, dan menyimpulkannya di otak kita. Dan juga, ketika kita mengatakan “Aku melihat,” sesungguhnya kita sedang mengamati sinyal-sinyal listrik di benak kita.

Tentang masalah ini, renungkanlah pemikiran dua filsuf terkemuka Bertrand Russel dan L. Witteinstein berikut:

Misalnya, apakah lemon benar-benar ada atau tidak dan bagaimanakah ia menjadi ada, tidak dapat dipertanyakan atau diselidiki. Sebutir lemon terdiri semata-mata dari rasa yang dicecap lidah, bau yang dicium hidung, warna dan bentuk yang dilihat mata; dan hanya ciri-ciri inilah yang dapat menjadi bahan pemeriksaan dan pengkajian. Ilmu pengetahuan tidak pernah bisa mengetahui dunia fisik.

Mustahil bagi kita menggapai dunia fisik di luar otak. Semua benda di sekeliling yang kita temui sebenarnya sekumpulan kesan seperti penglihatan, suara, dan sentuhan. Selama hidup kita, dengan mengola data di pusat-pusat indra ini, otak kita menghadapi bukan materi-materi “asli” yang ada di luar kita, namun salinan-salinannya yang terbentuk di dalam otak kita. Di sinilah kita tersesatkan dengan menganggap salinan- salinan ini mewakili materi sejati di luar kita.

kesimpulan yang tak terbantahkan berikut:

Semua yang kita lihat, sentuh, dengar, dan rasakan sebagai “materi,” “dunia,” atau “alam semesta” hanyalah sinyal-sinyal listrik yang ditafsirkan di dalam otak. Kita tidak pernah dapat mencapai materi yang asli di luar otak kita. Kita hanya merasa, mendengar, dan melihat citra dunia luar yang terbentuk di otak kita. Nyatanya, seseorang yang memakan sebutir apel menghadapi bukan buah yang sebenarnya, namun kesankesannya di otak. Apa yang dianggap seseorang sebagai sebutir apel sebenarnya terdiri atas kesan otaknya terhadap data kelistrikan menyangkut bentuk, bentuk, rasa, bau, dan tekstur. Jika saraf-saraf penglihatan yang berjalan ke otak tiba-tiba terputus, citra buah akan mendadak hilang. Terputusnya saraf hidung yang berjalan dari reseptor di hidung ke otak akan melumpuhkan seluruh indra penciuman. Ambil mudahnya, apel adalah tak lebih dari tafsiran otak atas sinyal-sinyal listrik.

Bagi kita, “dunia luar” semata-mata sekumpulan sinyal listrik yang berbarengan mencapai otak kita. Otak kita mengolah sinyal-sinyal ini, dan kita hidup tanpa menyadari agp keliru bahwa semua ini versi asli dan sejati dari materi yang ada di “dunia luar.” Kita disesatkan, karena lewat indra-indra kita, kita tidak pernah menggapai materi itu sendiri.

Sekali lagi, otak kita menafsirkan dan menetapkan makna bagi sinyal-sinyal yang kita anggap dari “luar.” Cobalah renungi indra pendengaran. Sesungguhnya, otak kita menafsirkan dan mengubah gelombang-gelombang yang mencapai telinga menjadi simfoni. Dengan kata lain, musik juga adalah kesan yang dibentuk—dan berada—di dalam otak. Dengan cara yang sama, ketika melihat kita warna-warna, beragam gelombang cahayalah yang mencapai mata kita, dan otak kita mengubah gelombang-gelombang ini menjadi warna-warna. Tidak ada warna di “dunia luar” sana. Apel tidak merah, langit tidak biru, pun pepohonan tidak hijau. Semua itu demikian karena kita mengesaninya demikian.

Siapakah Sang Pengesan?
“Dunia luar” yang kita pikir kita huni tidak diragukan lagi diciptakan di dalam otak kita. Akan tetapi, di sini muncul sebuah pertanyaan yang sangat penting. Jika semua benda fisik yang kita ketahui pada intinya kesan, bagaimana dengan sang otak sendiri? Karena otak kita bagian dari dunia materi seperti tangan kita, kaki kita, maupun benda-benda lainnya, otak juga seharusnya sebuah kesan.

Sebuah contoh akan menggambarkan hal ini. Anggap bahwa kita mengesani mimpi di dalam otak kita. Di dalam mimpi, kita memiliki sesosok tubuh khayalan, lengan dan mata khayalan, dan segumpal otak khayalan. Jika selama mimpi, kita ditanya, “Di manakah Anda melihat?” kita akan menjawab, “Saya melihat di dalam otak saya.” Namun, sebenarnya tidak ada otak sungguhan yang untuk dibicarakan, hanya sesosok tubuh khayalan, bersama dengan kepala khayalan dan otak khayalan. Si penglihat dari aneka citra dalam mimpi bukan otak khayalan di mimpi itu, namun suatu wujud yang jauh di luarnya.

Fakta kedua yang tak kalah pentingnya adalah “diri” di dalam otak kita yang mengamati dunia ini tidak mungkin otak itu sendiri, yang mirip sebuah sistem komputer terpadu: ia mengolah data yang mencapainya, menerjemahkan menjadi citra-citra, dan menampilkannya di sebuah layar. Namun, sebuah komputer tidak dapat melihat dirinya sendiri; tidak juga sadar akan keberadaan dirinya. Ketika otak dibedah untuk mencari kesadaran ini, tidak sesuatu pun ditemukan melainkan moleku-lmolekul lemak dan protein, yang juga ada pada organ-organ tubuh lainnya. Ini berarti di dalam jaringan yang kita sebut “otak kita” tidak ada sesuatu yang mengamati dan menafsirkan citra, membentuk kesadaran, atau menciptakan suatu wujud yang kita sebut “diriku.”

Buku di tangan Anda ini, ruangan tempat Anda berada—singkatnya, semua citra di hadapan Anda—terlihat di dalam otak Anda. Apakah atom-atom yang buta, bisu, dan tak sadar melihat semua citra ini? Mengapakah sebagian kecil atom memeroleh sifat-sifat ini padahal sebagian besar lainnya tidak? Apakah tindakan-tindakan kita berpikir, memahami, mengingat, merasa gembira, merasa sedih, dan semua lainnya tersusun dari reaksi-reaksi kimiawi di antara atom-atom ini? Tidak masuk akal mencari kehendak di dalam atom. Jelaslah, wujud yang melihat, mendengar, dan merasa adalah wujud supramateri, “hidup,” yang bukan materi maupun kesan. Wujud ini berhubungan dengan kesan di hadapannya dengan menggunakan citra tubuh kita. Wujud yang nyata itu adalah jiwa. Wujud cerdas yang menulis dan membaca kalimat ini bukanlah sekumpulan atom dan molekul dan reaksi kimia di antara unsur-unsur itu, namun sesosok jiwa.

Wujud Mutlak yang Nyata
Kita berhadapan langsung dengan sebuah pertanyaan teramat penting. Jika dunia yang kita hadapi terdiri atas kesan-kesan jiwa kita, maka apakah sumber kesan-kesan ini?
Untuk jawabannya, bayangkan bahwa kita mengesankan materi hanya di khayalan kita, namun tidak pernah dapat langsung mengalami yang terjadi di luar. Yakni, kesan ini harus disebabkan oleh kekuasaan lain—yang berarti bahwa sebenarnya materi pasti diciptakan. Lebih lagi, penciptaan ini harus sinambung. Jika tidak, maka penciptaan ini akan segera lenyap. Seperti itu juga, gambar televisi hanya ditayangkan selama sinyal-sinyalnya terus dipancarkan. Jadi, siapakah yang membuat jiwa kita terus melihat bintang-gemintang, Bumi, tetumbuhan, manusia, tubuh kita, dan segala sesuatu yang kita lihat? Nyatalah, ada sesosok Pencipta, Yang menciptakan seluruh alam materi, yakni, dan Yang tanpa henti melanjutkan penciptaanNya. Karena Pencipta ini menunjukkan penciptaan yang demikian cemerlang, pastilah Dia memiliki kekuasaan dan kekuatan abadi.

Ini menunjukkan bahwa ada alam semesta materi di luar otak kita, yang mencakup entitasentitas yang diciptakan oleh Allah. Akan tetapi, sebagai sebuah mukjizat dan perwujudan sifat unggul ciptaanNya dan kemahakuasaanNya, Allah menunjukkan kepada kita alam semesta materi ini dalam bentuk sebuah “khayalan,” “bayangan,” atau “citra.” Karena kesempurnaan penciptaanNya, manusia tidak pernah dapat mencapai dunia di luar otaknya. Hanya Allah yang mengetahui alam semesta materi yang sebenarnya.

Orang tersesatkan oleh pemikiran bahwa wujud yang paling dekat dengannya adalah dirinya sendiri. Sesungguhnya, Allah lebih dekat dengan kita daripada diri kita sendiri. Dia telah menarik perhatian kita akan hal ini dalam ayat:
“Maka, mengapakah ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal ketika itu kamu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripadamu, tetapi kamu tidak melihat?” (QS AlWaqi’ah, 56: 83-85).

Namun, orang-orang tetap tidak sadar akan fakta mencengangkan ini karena tidak
dapat melihatnya dengan mata kepala mereka sendiri, sebagaimana dikatakan dalam ayat tersebut.

Di sisi lain, mustahil bagi manusia—yang bukan apa-apa melainkan sesosok wujud semu, sebagaimana dikatakan Imam Rabbani—memiliki kekuasaan yang terlepas dari Allah. Ayat “Padahal adalah Allah Yang menciptakanmu dan apa-apa yang kamu perbuat.” (QS Asy Syafaat, 37: 96) menunjukkan bahwa apapun yang kita alami terjadi di bawah kendali Allah. Di dalam Al Qur’an, kenyataan ini disebutkan di dalam ayat “Bukan kamu yang berbuat ketika melempar, tetapi adalah Allah yang melempar.” (QS Al Anfal, 8: 17), dimana ditekankan bahwa tidak ada perbuatan yang lepas dari Allah. Karena kita manusia hanya wujud semu, kita sendiri tidak dapat menjadi yang melakukan tindakan apapun. Akan tetapi, Allah memberi kita para wujud semu perasaan bahwa kita bertindak sendiri. Nyatanya, Allah Yang melakukan semua tindakan. Seseorang mungkin tidak ingin mengakuinya dan memikirkan dirinya terbebas dari Allah; namun hal ini tak mengubah apa-apa.

Segala Sesuatu yang Anda Miliki pada Hakikatnya Adalah Ilusi
Adalah jelas, ilmiah, dan logis bahwa kita tidak bersentuhan langsung dengan “dunia luar,” namun hanya dengan salinannya yang terus-menerus ditayangkan Allah bagi jiwa kita. Akan tetapi, orang biasanya enggan berpikir demikian.

Jika Anda memikirkan hal ini dengan tulus dan berani, Anda akan menyadari bahwa rumah, perabotan di dalamnya, mobil Anda, kantor Anda, perhiasan, rekening di bank, koleksi busana, suami atau istri, anakanak, rekan sejawat—sebenarnya, semua yang Anda miliki—berada di benak Anda. Semua yang Anda lihat, dengar, atau cium — singkatnya, yang Anda kesani dengan kelima indra—adalah bagian dari “dunia replika” ini, termasuk suara penyanyi favorit Anda, kerasnya kursi yang Anda duduki, parfum yang wangi.

Mimpi sebagai Contoh
Sebenarnya adalah yang mana pun dari kelima indra yang kita ambil sebagai titik tolak, kita tidak dapat mencapai aslinya dari dunia luar yang ada di luar sana. Petunjuk penting hal ini adalah cara kita membayangkan dalam mimpi hal-hal yang tidak ada. Di dalam mimpi, kita dapat mengalami kejadian-kejadian yang sangat nyata. Kita dapat jatuh dari tangga sehingga mematahkan kaki, mengalami kecelakaan mobil yang parah, terjepit di bawah bis, atau makan besar dan merasa kenyang. Kejadian-kejadian yang serupa dengan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari juga dialami dalam mimpi, dengan sama meyakinkan dan membangkitkan perasaan serupa.

Seseorang yang bermimpi tertabrak bis dapat membuka mata kembali di rumah sakit—masih dalam mimpinya—dan menyadari bahwa dirinya cacat, tetapi semua itu hanya mimpi. Dia juga bisa bermimpi meninggal di dalam sebuah tabrakan mobil, bermimpi malaikat maut mengambil jiwanya, dan kehidupannya di alam baka dimulai.

Citra, suara, rasa benturan, sakit, cahaya, warna—dan semua perasaan lain yang berkaitan dengan peristiwa yang dialaminya di dalam mimpi—dikesani dengan sangat jelas. Semua seakan sama alamiahnya dengan kesan-kesan dalam hidup nyata. Kue yang dimakannya di dalam mimpi membuatnya kenyang, meskipun kue itu hanya kesan, sebab rasa kenyang pun juga kesan. Akan tetapi, pada saat itu, orang ini sedang terbaring di tempat tidur. Tidak ada tangga, tidak ada lalu lintas, tidak ada bis, tidak ada kue karena sang pemimpi mengalami kesan-kesan dan perasaan-perasaan yang tidak ada di dunia luar. Kenyataan bahwa mimpi-mimpi kita memberi kita peristiwa-peristiwa tanpa kaitan fisik dengan “dunia luar” adalah satu fenomena yang intisari sejatinya tidak pernah kita ketahui. Kita dapat memelajari sifat sesungguhnya dunia itu hanya dari wahyu Allah Mahakuasa Yang menciptakannya.

Filsuf Inggris terkemuka, David Hume mengungkapkan pemikirannya tentang fakta ini:

Bagi saya, ketika saya masuki secara paling intim apa yang saya sebut diri sendiri, saya selalu terantuk dengan satu kesan atau lainnya, tentang panas atau dingin, terang atau gelap, cinta atau benci, suka atau duka. Saya tidak bisa menangkap diri sendiri kapan pun tanpa suatu kesan, dan tidak dapat mengamati apa pun selain kesan.

Pentingnya Masalah Ini
Memahami secara benar rahasia di balik materi seperti dijelaskan di dalam bab ini adalah hal yang sangat penting. Gunung-gunung, bunga-bunga, orang-orang, lautan—singkatnya, segala sesuatu yang kita lihat dan segala sesuatu yang disampaikan Allah di dalam Al Qur’an yang ada dan yang Dia ciptakan dari ketiadaan diciptakan dan sungguh-sungguh ada. Akan tetapi, orang-orang tidak dapat melihat, merasakan, atau mendengar sifat sesungguhnya wujud-wujud ini lewat panca indra mereka. Apa yang kita lihat dan dengar hanyalah salinan yang tampak di otak. Inilah yang diajarkan fakta ilmiah di sekolah-sekolah kedokteran.

Hal yang sama terjadi pada buku yang sedang Anda baca. Anda tidak dapat melihat atau menyentuh sifat sesungguhnya. Cahaya yang datang dari buku yang asli diubah oleh sebagian sel di mata Anda menjadi sinyal-sinyal listrik, yang lalu diteruskan ke pusat penglihatan di bagian belakang otak Anda. Inilah di mana pemandangan buku ini tercipta. Dengan kata lain, Anda tidak sedang membaca sebuah buku di depan Anda lewat mata Anda; nyatanya, buku ini diciptakan di pusat penglihatan di bagian belakang otak Anda. Buku yang sedang Anda baca sekarang ini adalah “salinan buku” di dalam otak Anda. Buku asli terlihat oleh Allah.

Namun, harus diingat, bahwa fakta bahwa materi itu sebuah bayangan yang terbentuk di otak tidak “menolak” materi, tetapi memberikan kita informasi tentang sifat sesungguhnya materi: bahwa tidak ada orang yang bisa berhubungan dengan asli materi. Lebih-lebih, materi di luar terlihat bukan hanya oleh kita, namun oleh wujud-wujud lain juga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar